JUDUL BELUM DITEMUKAN || APRIL 2020

Halo, Assalamualaikum!

Terakhir kali aku menulis panjang yang serius kapan ya? Sulit kalau benar-benar ga dapet moodnya yang pas untuk menulis. Padahal kemarin adalah hari puisi, sempat berniat “ok, hari ini harus bikin puisi dan publish” tapi nyatanya aku- mm lupa. Oh iya, untuk yang tidak tahu. Aku cukup sering menulis puisi dan sajak sajak tempe di akun wattpadku, dengan judul Goresan Aksara, atau silahkan klik Goresan Aksara saja. 

Anyway, kali ini tulisan santai aja ya? 

Apa ya, kira-kira life update menarik tidak untuk dibahas? Jujur selama masa karantina ini tidak banyak kegiatan yang aku kerjakan—Oh iya terkadang suka bingung dan dilema karena hal sepele, misal lebih enak dengan 'aku' atau 'saya', secara pribadi merasa lebih nyaman dengan 'saya', tapi 'aku' terasa lebih hangat dan akrab untuk dibaca tapi tetep ‘gue’ adalah yang paling lepas rasanya, eh—Yasudah lah ya? 

Maret tanggal 20 lalu rasanya terakhir kali aku berkeliaran di luar rumah. Hingga hari ini tercatat memasuki hari ke-40. Bagaimana rasanya? Tidak tahu, abu-abu sekali. Katanya libur hanya satu minggu, lalu bertambah menjadi dua minggu, bertambah lagi, bertambah terus hingga akhirnya sampai jua pada bulan suci. 

Mengingat tentang Ramadan, ini adalah topik yang cukup sensitif bagiku. Terlalu banyak darinya yang bisa membawaku tenggelam menangis di dalamnya. Menangis untuk kesenangan juga kesedihan yang pernah ditorehkan dan abadi.

Tapi Ramadan kali ini lebih patut disebut istimewa sepertinya, aku sudah terlalu banyak mengeluh untuk banyak hal —andai mengubah persepsi, membangun dan menananam citra semudah itu— Ramadan ini istimewa, banyak berkah di dalamnya, meski kesulitan juga berjalan secara bersamaan. Tidak satu dua yang mengeluh soal gaji yang dipotong, atau gaji tak kunjung dicairkan, atau nasib usai diPHK,  namun   tanggung jawab dan pengeluaran masih sama besarnya. Bukan, bukan itu yang akan kita bahas. Berbicara yang sedih memang tidak akan ada habisnya.

Puasa kali ini memberikan banyak pelajaran, dan kesempatan untuk lain-lain hal yang sebelumnya belum terealisasi atau bahkan belum sempat terpikir sekalipun. Banyak keluarga yang akhirnya mengukir cerita di bawah atap, baik atap yang biasa maupun atap yang megah. Bersama mencoba kegiatan sederhana, namun terekam cukup baik untuk menjadi sebuah kenangan dan alasan kuat untuk pulang, jika nanti sudah terbit surat yang diedarkan di seluruh dunia untuk sesukanya meninggalkan rumah.

Aku, satu dari banyak yang bersyukur dengan segala ketidaklengkapan. Meski hanya aku, Ibu, dan Adik, tiga serangkai yang mencoba bertahan meski kadang airmata pun jua terurai beramai-ramai. Mengingat kami yang terpaksa berjarak. 

Oke, kembali ke fokus utama. Kegiatanku selama #dirumahaja tidak jauh-jauh dari mengerjakan tugas kuliah, online video conference dengan segala tetek bengek-nya, membersihkan rumah, atau menulis —seperti yang sedang kulakukan saat ini, dan sisa waktu dari 24 jam ku isi dengan menatap atap, berpikir lalu terlelap.

Anyway, hari ini sudah memasuki puasa hari ke-7. Sudah mencoba berbagai resep makanan yang tentunya berujung gagal. Ini aib yang harus ku akui. Aku mudah sekali terpancing untuk mencoba resep makanan yang dibagikan di sosial media. Dan tentunya tergerak untuk mencoba karena merasa “gampang nih, aku bisa”. Kenyataannya, sulit sekali. Terlebih pada soal takaran. “masukkan secukupnya” adalah frase yang sangat tidak ku suka, dan menjadi bom penghancur dalam proses memasakku. Aku butuh takaran pasti bukan menduga-duga, instingku tidak bekerja optimal dalam hal ini. Setelah kesekian kali akhirnya aku mengakui (lagi) bahwa aku tidak diberi kelebihan untuk menjadi orang yang berhasil di dunia perdapuran dan dalam mengaplikasikan teknik maupun resep makanan.

Untuk siapapun lelaki yang tidak beruntung—setidaknya dalam hal makanan—yang akan menemaniku di seluruh sisa hidupnya, dia perlu tahu ini jauh-jauh hari agar tidak berekspektasi banyak padaku. Bakat ayahku tidak menurun padaku. Keahlian ayahku dalam memasak tidak diwariskan untukku. Tapi untuk persoalan membersihkan rumah, dekorasi rumah dengan percaya diri aku menyatakan bahwa aku mewarisinya dan mampu berdiri di barisan depan. Hahaha. Tapi tenang saja, dengan berjalannya waktu aku akan belajar memperbaiki kurangku yang satu ini walaupun nampak seperti tantangan berat untuk dilaksanakan.

Diantara semua yang diharuskan mandiri dan individu seperti tarawih, tadarus menjadi penyelamat kebosanan. Semenjak semua serba virtual, bolak-balik Twitter, Instagram dan Whatsapp sudah menjadi bagian dari silaturrahmi. Tapi lama kelamaan, aku akui kegiatan ini menjadi tidaklah menyenangkan. Benar-benar jenuh. Saat kejenuhan melanda, kembali pada Al-Qur’an adalah pilihan yang tidak pernah salah. Tidak ada yang berbeda dengan tadarus-tadarus tahun lalu. Hanya saja kali ini diberikan waktu luang yang melimpah. Pikirku, kenapa tidak bertadarus sekaligus memahani tafsir? Kalau untuk sampai pada titik paham tafsir dirasa sulit, setidaknya memberanikan diri untuk tahu terjemah adalah langkah yang baik. 

Ketika mendapat kabar bahwa kita dirindukan seseorang dan ingin segera berjumpa, bukan main bahagia yang kita rasa, kan? Mungkinkan ini adalah pertanda Allah sedang rindu kita? Diberikan-Nya kesempatan yang banyak untuk menghabiskan banyak waktu berjumpa dengan-Nya, untuk kembali bercerita pada-Nya tentang hiruk pikuk kehidupan melalui ayat Al-Qur’an dan senandung pujian dalam doa-doa. Tidak kah kita seharusnya berbahagia?

Jika orang baik adalah yang tidak pernah melakukan salah, maka aku adalah perwujudan ‘orang-tidak-baik' yang nyata. Orang yang baik dan bijak bukanlah yang tidak pernah melakukan salah. Tapi yang melakukan kesalahan namun dengan penuh kesadaran memahami hakikat dan kewajibannya sebagai manusia dan hamba. Aku pendosa. Pagi hari asik mendengarkan musik, siang hari tertawa terkikik seraya menonton film adalah dua kebiasaan yang tidak luput dari diriku. Dengan penuh kesadaran aku mencoba mempersembahkan malamku untuk berjumpa dengan Rabbku, semampuku. 

Untuk semuanya, siapapun yang membaca tulisan ini. Selamat berpuasa dan semangat memperbaiki diri sebagai manusia. Semoga Ramadan ini menjadi wadah dan waktu yang tepat untuk memperbaiki kualitas diri. Semoga semua kesulitan yang kita hadapi segera luruh diguyur oleh doa-doa yang dipanjatkan di atas tangan-tangan yang setia menengadah. 

Just like what I’ve mentioned earlier, selama masa karantina ini tidak banyak hal yang aku lakukan. Maka wajar jika tulisan ini isinya berlari kesana kemari dan agaknya tidak beraturan. 

Benar-benar tulisan yang mencerminkan isi kepalaku saat ini. Semuanya berkejaran kesana kemari tidak jelas arahnya.

Intinya, semoga yang baik bisa diambil, yang tidak jelas sebaiknya dilupakan. Aku menulis ini dengan pose se-santai-itu, selonjoran di atas kasur, dengan lampu kamar yang dimatikan dan kepala yang bersandar nyaman pada guling.
Sekian sampai disini sebelum semakin tidak jelas dan memburamkan penglihatan. 

Wassalam.







Comments

Popular posts from this blog

MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021