MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

Halo,

Saat tulisan ini dipost, berarti kita semua sudah merayakan Hari Raya Idul Fitri.




Well, Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1441 H bagi semua teman-teman muslim yang merayakan. Semoga puasa dan semua bentuk amal ibadah yang telah kita perbuat selama bulan suci, diterima dan insyaAllah mendapat ganjaran terbaik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga haus dan lapar yang kita rasakan, serta menahan diri dari berbagai nikmat duniawi sebulan lamanya dapat memberi kita pelajaran berharga, dan iman serta ibadah yang meningkat. 

Kenapa judulnya "memori"? memori identik dengan ingatan, peringatan,  dan serba-serbi masa lalu. Fyi, aku menulis ini persis di malam Idul Fitri, saat dimana-mana rekaman takbiran mulai dinyalakan. Menghidupkan suasana Idul Fitri yang syahdu. Aku terperangkap dalam ingatan tentang betapa bahagianya, betapa kata “selamat” benar-benar membawa makna suka cita di dalamnya. Kita semua tahu, pada Idul Fitri tahun ini segala sesuatu terasa berbeda bagi kita dan semua orang. Tidak ada kumpul keluarga, sendiri di perantauan, terisolasi di rumah masing-masing. Mungkin ada beberapa yang masih dapat merasakannya, maka beruntunglah bagi mereka. 

Tidak ada yang patut disalahkan atas kondisi yang menimpa kita saat ini, melainkan kita jadikan ini sebuah momentum untuk kita mengingat (lagi) betapa banyak nikmat yang Allah berikan sampai hari ini. Memperbanyak bersyukur, semoga dapat menjadi obat untuk kerinduan dan keinginan untuk memeluk keluarga yang tahun ini tidak dapat terpenuhi.

Sebenarnya, bagiku pribadi ini sudah tahun ke-3 melewati hari sebesar Idul Fitri tanpa keluarga yang lengkap. Rasa-rasanya sudah harus terbiasa dengan kondisi yang seperti ini, namun dengan banyaknya hal tidak terduga —tentunya bukanlah sesuatu yang menyenangkan— terjadi belakangan ini pembatasan sosial dan pandemi ini terasa begitu berat.

Mm, mari kita mulai sesi mengenangnya ya,
Aku yakin, setiap keluarga memiliki tradisi atau cara tersendiri untuk merayakan hari kemenangan. Kebiasaan dalam keluarga yang terekam dan teringat sepanjang hayat bagi anggotanya, terlebih bagi anak-anak. Hingga tua sekalipun, cerita itu akan terus ia bawa dan berulang diceritakannya pada anak cucunya mendatang. Tradisi perayaan Idul Fitri di keluargaku tergolong normal, standar yang dilakukan keluarga kecil. Tidak terlalu meriah, namun juga tidak terlalu 'biasa saja'. 

Oh iya, Idul Fitri selalu menghidupkan sesal yang sama setiap tahunnya. Dua ribu delapan silam, kakekku —ayah dari baba— berpulang menghadap-Nya. Terbayang tidak betapa kacaunya? Saat suasana mendukung untuk berbahagia, ceria, namun nyatanya diisi dengan tangis kehilangan. Mungkin saat itu aku masih belia, mungkin orang-orang melihat tangisku sebatas tangis anak-anak terhadap kehilangan namun tidak seutuhnya memaknai. Namun, nyatanya tidak. Setiap tahun, aku dirajam oleh rasa penyesalan 

“kenapa tidak sempat bertemu?” 
“kenapa saat itu aku menolak untuk berbicara di telepon?”

tapi ya sudah lah, sesal ini tidak akan membawa dampak apapun. Doaku selalu tidak pernah absen, sebagai hadiah untuk beliau di malam Idul Fitri. 

Fyi, saat itu posisinya adalah aku dan keluarga masih di Mekkah, sedangkan beliau di Indonesia. Aku hanya mengenal beliau dari cerita baba mama dan keluarga. Kami tidak pernah sekalipun bertemu. 

Beranjak ke bagian “mengenang” yang sebenarnya ya, aku menulis ini pada pukul 4 pagi waktu Indonesia bagian Barat. Tak satupun dari kami —aku,mama,adik— yang terlelap malam ini. Sama seperti tahun-tahun yang lalu. Aku ingat, sejak kecil, malam lebaran adalah malam yang istimewa bagiku. Karena Baba pasti sudah libur bekerja, dan keluarga berkumpul semua di rumah. Setelah meriam penanda diletuskan seusai shalat isya, setelah melihat hilal juga tentunya. Aku dan adik selalu berteriak girang

 “Maaaaa besok lebaraaan, yuhu puasa sudah selesai”

 sembari menari-nari khas anak kecil. Biasanya beberapa hari sebelum lebaran, kami sudah dibelikan baju baru. Aku selalu tidak sabar untuk mengenakannya. Pergantian hari yang terasa semakin lama selalu ku hitung-hitung hingga tiba saatnya. Sepatu baru, baju baru, tas baru dan semua muanya. 

“Ma nanti pagi, aku duluan yang mandi ya?”
 “Ma, nanti bacaan atau niat mandinya gimana?”
“Ma, ini sholatnya takbirnya banyak kan?”

Beberapa pertanyaan yang selalu dilontarkan “Nawal kecil” pada masanya. Oh iya melanjutkan yang tadi, setelah meriam penanda dibunyikan, kami bergegas ke pasar untuk membeli bahan dan perkakas untuk memasak hidangan nanti pagi. Biasanya selalu aku dan baba yang pergi, terkadang adikku juga menyertai. 

Dulu, kami menyebutnya “bigalah jawa” (toko jawa), adalah sebuah toko yang menjual barang-barang khas Indonesia. Baba memilih-milih sayur, bumbu masakan, dan camilan-camilan yang dirasa menarik. Fyi, baba adalah panggilan untuk ‘ayah’, siapa tau ada yang tidak mengetahui sebelumnya dan menjadi bingung sapaan ‘baba’ merujuk pada siapa selama membaca tulisan ini, hehe.

Dari pukul 1 pagi, seusai belanja baba sudah mulai menyiapkan semua bahan di dapur. Aku yang tidak pandai memasak hanya memperhatikan gerak gerik baba dan mama yang dengan ahlinya mengotak-atik peralatan dapur di atas kompor. Aku sesekali membantu menyetel tombol blender misalnya, atau membantu mencuci sayur. Sebagai bentuk kontribusi seorang asisten ahahha.

Sayur lodeh, Sate Ayam, Masak Habang, dll. Oh iya  tidak lupa tape ketan yang sangat khas manis legitnya. Sembari memasak, sekitar pukul 3 atau 4 pagi waktu Arab Saudi yang berarti sudah menunjukkan pukul 7 di Indonesia kami menyaksikan siaran langsung dari televisi. Tayangan persiapan shalat Eid yang dilaksanakan di Mesjid Istiqlal, Jakarta. Seperti menjadi sebuah tontonan yang 'wah' bagi mama dan baba yang merindukan tanah kelahirannya. 

Selesai memasak, kami semua beristirahat dan tidur sejenak, kurang lebih 1 jam. Lalu kembali bangun dan sampai pada saat yang ditunggu-tunggu. Mandi Eid dan mengenakan pakaian, saat kecil dulu baju lebaran kami —aku dan adik— selau heboh dan warna-warni. Namun saat beranjak remaja, yang paling wajib adalah Abaya baru untukku dan Thawb baru untuk abang dan adikku. 

Lanjut, setelah siap berias kami pun segera berangkat menuju Mesjid Haram. Menuruni 100 anak tangga, karena rumah kami berada di tempat yang cukup tinggi tapi tak setinggi gunung. Semoga kalian paham ya. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Saat sampai di jalan raya, pemandangan yang terlihat adalah banyaaaaaaak sekali mobil terparkir di setiap sisi jalan dan trotoar. Mengapa? Mobil-mobil tersebut adalah milik warga yang tinggal dari tempat yang cukup jauh. Mobil tersebut terpaksa diparkirkan disana karena  saat malam lebaran, diberlakukan aturan semacam ‘car free'. Maka mereka terpaksa harus turun dan berjalan kaki menuju Mesjid Haram. Pemandangan lain yang bisa kita lihat adalah, semua orang berdandan dan berias seindah mungkin. Abaya baru dengan berbagai desain dan motif. Serta Thawb dan Guthra yang khas dengan necis-nya disetrika. Yang menyorot perhatian biasanya adalah remaja putra dan putri mengenakan pakaian terbaik, anak-anak dengan pakaian yang unik dan menarik. Momentum yang berbeda dari hari biasanya. Semua orang berpapasan mengucap “kul 'am w antum bi khair” yang artinya kurang lebih “semoga engkau selalu dalam kebaikan sepanjang tahun”.

Mesjidil Haram tentunya dipenuhi dengan lautan manusia. Untuk dapat masuk ke area dalam, kita perlu berangkat lebih awal, paling tidak pada pukul 2 atau 3 pagi. Karena aku dan keluarga berangkat hanya beberapa menit sebelum sholat Eid dimulai, maka kami hanya bisa sholat di area luar atau bahkan di jalan raya. Akan banyak ditemui penjual balon di seluruh bagian jalan. Yang tidak pernah luput dari perhatian anak-anak. Saat kecil dulu, mama selalu harus menyiapkan uang untuk membeli 2 balon untukku dan adikku.

Pemandangan orang-orang berbagi (عيدية) Eidiyah : hadiah yang diberikan untuk anak-anak. Semacam angpao atau THR kali ya? Juga menghiasi pagi itu.

Seusai shalat Idul Fitri, semua orang berhamburan untuk kembali ke kediaman masing-masing, tidak terkecuali kami. Tradisi bersalam-samalam nampaknya tidak sama dengan di Indonesia. Bersalaman dan mengucap tahniah hanyalah pada kerabat dekat dan sebatas itu saja, tidak ada prosesi maaf-maafan atau sungkeman seperti lumrahnya di Indonesia. Jarak dari rumahku menuju mesjidil haram jika ditempuh dengan berjalan kaki santai, tidak memakan waktu lebih dari 30 menit. 

Sesampainya di rumah, kami menyantap sebagian dari makanan mostly makanan ringan sih. Lalu kamipun melanjutkan tidur, tidak ada tamu yang datang di pagi hari. Entah ini opiniku saja atau sebagian orang juga merasakannya, tidur kali ini terasa begitu nikmat dan berbeda karena nuansa Eid. Seperti semua beban terlepaskan, didukung dengan adanya THR yang banyak haha.

Saat menjelas siang barulah tamu berdatangan atau sebaliknya kami yang bertamu ke rumah-rumah teman dan keluarga. Setelah itu kami hanya akan menghabiskan waktu bersama keluarga bahkan hingga memasuki hari raya ke 2 dan ke 3. Hari-hari berikutnya kami lanjutkan dengan melaksanakan puasa Syawwal :)

Sepertinya itu saja sebagian kenangan yang ingin kubagikan, mengingat terlalu banyak jika harus menuliskan semuanya. Selamat berbahagia semuanya, walaupun definisi perayaan lebaran kali ini sedikit bergeser agaknya. Semoga berkahnya tetap dapat kita rasakan.

تقبل الله منا ومنكم الصيام والقيام و الصالح الأعمال :)
عساكم من عواده


Comments

  1. Banyak memori yang dikenang ya wal:')

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya dil, cuma bisa mengenang sekarang :) time flies too fast

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021