INSECURITY | 11 JUNI 2020

Hai,

Disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, saya memiliki keyakinan bahwa social dan physical distancing  ini akan menempa manusia menjadi individu yang berbeda dari sebelumnya, selepas karantina nanti. Berbeda bukan berarti secara fisik 180 derajat berubah seperti rangers dalam serial Power Rangers, tapi bisa se-simple pola pikir dan pandangan terhadap sesuatu yang akan bergeser dari apa yang semula telah terbentuk dan dipercayai. Ini sekedar opini saya yang yaaa penting tidak penting sih, jadi tidak perlu saya jabarkan, kan? 

Selama masa karantina ini apa saja yang telah kalian kerjakan? Skill apa yang baru kalian pelajari? Saya sendiri mulai jenuh dengan rutinitas ini. Terlebih selepas idul fitri. Semangat yang berapi untuk mencoba ini-itu pada awal masa karantina sudah mulai meredup. Saya lebih banyak menonton, dan gelendotan saja di kasur; tidak begitu produktif. Kebosanan ini membuat saya sering berkaca di cermin. Entahlah frekuensinya menjadi berkali lipat lebih sering, dengan begitu saya merasa semakin insecure melihat pantulan diri di depan cermin yang semakin hari semakin tidak terkendali. 


Berbicara tentang insecurity, kata ini sepertinya cukup populer di dunia nyata maupun dunia maya saat ini. Hampir setiap kawula muda tahu dan menggunakannya untuk menggambarkan perasaan mereka. Segudang dan sejuta insecurities yang saya miliki. Panjang struk belanja bulanan ibu tidak ada tandingannya dengan list insecurities yang saya punya. Insecure pada diri sendiri, seperti pada hidung yang menurut saya tidak tidak, tidak juga mancung, dan se-proper hidung orang lain. Atau pada gigi yang tidak rapi dan jauh dari kata sempurna. Pada bentuk wajah asimetris yang selalu membuat saya minder untuk difoto orang lain, karena hanya saya yang paling tahu angle terbaik untuk wajah saya. Pada badan yang jauh dari kata langsing dan ideal. Pada badan yang berbulu —suka bingung ga sih ini sebaiknya disebut bulu badan atau rambut badan (?)— Pada pipi yang tidak tirus dan berbaris-baris keluhan fisik lainnya. Tidak hanya tentang diri sendiri atau secara fisik namun juga ditambah dengan keberadaan social media yang secara masif meng-expose kehidupan orang lain. Timbullah bibit-bibit insecurity dari melihat kesuksesan, kebahagiaan dan pencapaian orang lain. Social media yang memperparah keadaan ini. 

Kehidupan masa kini, millenial hari ini dikuasai oleh social media. Tidak terkecuali saya, bagian dari millenial yang aktif menggunakan social media setiap harinya. Saya mengakui bahwa social media membawa impact yang cukup berarti dalam kehidupan saya. Pengaruh yang menjurus pada hal-hal negatif, tapi negatif yang sepele. Sebelum ini, ketika remaja awal, saya pernah berada di fase sering merasa jengkel ketika followers di social media saya berkurang. Saya terus memantau, setiap berkurang, saya akan cari tahu dan melakukan hal yang sama pada akun tersebut. Atau, saya benci ketika seseorang mem-follow hanya untuk mendapatkan followers kemudian meng-unfoll ketika telah difollow back, licik sekali pikir saya saat itu. Jumlah likes yang tidak sesuai ekspektasi pada postingan, viewer story yang tidak sebanyak biasanya pun dapat mempengaruhi mood saya kala itu. Oh betapa toxicnya kehidupan bersosial di dunia maya bagi saya si pengguna muda ini. Sebenarnya semakin hari saya semakin tidak peduli dengan hal-hal sepele seperti ini. Mungkinkah ini yang disebut proses pendewasaan? Oh satu lagi, saya sulit untuk toleran pada feed yang tidak tertata rapi namun akan merasa iri hati pada user yang memiliki feed yang terorganisir dengan baik. Tapi hal ini bisa saya wajarkan bagi saya yang memuja dan mengedepankan nilai estetika. Hal ini dapat dimaklumi mengingat saya sebagai salah satu anggota dari sekte perfeksionisme (?)

Anyway, masih pada pembahasan insecurities. Saya merasa kesadaran saya akan dampak buruk, "perasaan khawatir" dan "tidak aman" ini masih on dan off. Akan ada masanya saya menyadari ini tidak baik untuk kesehatan mental saya. Dan ada pula masanya saya teledor, membiarkan diri sendiri terlena dalam kesedihan dan merasa tidak cukup baik sebagai individu. Seperti yang saya alami saat ini. Saya benar-benar mulai mengurangi interaksi di dunia maya, menghindari chat dan lain sebagainya. Saya hanya tidak ingin message masuk dari teman-teman yang berisi pertanyaan tentang pencapaian saya selama karantina, atau membuat lelucon tentang berat badan seperti, “gendutan ya?” dapat mengiris perasaan saya yang sedang tidak stabil. Basa-basi yang biasa saja akan terdengar berbeda dan sangat menyakitkan bagi saya yang sedang sensitif. Daripada harus menjelaskan perasaan saya kepada orang-orang dan minta dimengerti, saya rasa lebih baik saya yang memahami diri saya sendiri dan memberikan batas ini sendiri.

Kejadian ini membuat saya berpikir, kenapa sebenarnya standar ini terbentuk? Standar tentang kecantikan, tentang tubuh yang ideal, tentang prestasi dan keahlian seseorang. Tentang siapa yang pintar? Lebih pintar? Paling pintar? Mengapa harus ada satu hal yang menjadi parameter keberhasilan seseorang atau tercapainya sesuatu?  Mengapa harus ada syarat untuk memenuhi kriteria “cantik” “tampan” ? Sebutlah “standar kecantikan”, standar kecantikan adalah diskriminasi bagi saya. Hal ini hanya akan menciptakan ketakutan bagi orang-orang untuk menjadi unik, berbeda, dan menjadi seutuhnya diri mereka sendiri. Tidak perlu dijawab sih sebenarnya, saya paham adanya orang-orang atau badan-badan tertentu yang menggunakan standar ini untuk kepentingan mereka. 

Katakanlah standar ini dibuat dengan tujuan baik, agar kita semua dapat berpikir lebih positif.  Maka anggaplah standar ini dibentuk untuk menumbuhkan kesadaran akan kesehatan misalnya. Menjaga tubuh agar tetap ideal, merawat kulit agar mulus  adalah bentuk mencintai diri sendiri, bukan sekedar mengikuti standar. Permasalahannya adalah, tidak semua orang menginginkan untuk menjadi sama seperti kebanyakan lainnya. Lalu komentar orang lain menjadi seperti polisi moral, lantas orang-orang yang menasihati semaunya tentang bermacam hal ini dapat dibenarkan? Kan tidak begitu. 

Well, perasaan insecure yang dipelihara juga tidak dapat dibenarkan, dibiarkan, dan dijadikan tameng untuk terus menerus berlindung dari ketidakpercayaan kita terhadap diri sendiri dan kemampuan yang diri kita miliki. Yang perlu kita pahami adalah insecure muncul dari berbagai kemungkinan. Saya sendiri menyadari perasaan insecure saya memang tumbuh dari rasa percaya diri yang rendah, kebiasaan overthinking dan opini publik yang menyakitkan juga kerap saya terima, serta keberadaan social media. Kita perlu memiliki pemahaman yang baik, bahwa perasaan semacam insecure ini wajar. Perasaan khawatir, atau perasaan kurang yang sering menakut-nakuti, namun sakit ini perlu kita akhiri. Jangan sampai kita malah menyalahkan orang lain sebagai penyebab dari ketidaknyamanan kita dan perasaan insecure kita, padahal kemunculannya bisa saja dari dalam diri kita misalnya. 

Malam ini saya benar-benar sensitif, sampai-sampai menulis tulisan sepanjang ini pun tidak terasa. Karena memang sejujurnya belakangan ini saya sedang dengan keras melawan perasaan tidak nyaman pada diri sendiri. Mental saya sedang tidak sehat. Saya banyak cemas, banyak stres dan banyak curiga. Semoga sakit ini segera sembuh dengan mandiri.

Semoga ini menjadi blog pertama dan terakhir saya yang membahas tentang insecurities :)



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021