03.03.2021

 

Dua tiga kali pertanyaan yang sama dilontarkan “Untuk apa, Wal?”

 

Saya sering berpikir dan mencoba menyampaikan suara tentang “terkadang lebih baik banyak mendengar daripada berbicara”, saya tidak setuju ketika bising dunia dipenuhi oleh mereka yang punya keberanian saja. Di lain sisi, mereka yang juga punya potensi sama harus menelan ludah, terhalang malu karena takutnya lebih besar.  Takut suara pelannya tidak terdengar atau didengar, tipis sekali perbedaan artinya tapi jelas dua kondisi yang berbeda.

Orang bilang, kita akan mudah berempati ketika mendapati hal tersebut juga terjadi dalam hidup kita. Tanpa sadar kita merasa memiliki keterikatan dan punya kesempatan yang setara untuk ikut serta atau membela. Berangkat dari pengalaman menjadi orang yang punya ketakutan. Menciut ketika  dihadapkan dengan massa yang besar, atau ketika diminta untuk menyampaikan pendapat dan keluh kesah perasaan sendiri. Hambatan ini yang membuat saya melepas banyak kesempatan, mengubur banyak harapan.

Kembali untuk menjawab pertanyaan untuk apa?, sederhananya, saya akan menjawab karena  tidak ingin kecewakan siapapun yang menaruh harap pada saya, walaupun saya tahu itu tidak mungkin. Saya tidak ingin kecewakan yang telah menciptakan saya. Saya yakin, ada sebuah alasan mengapa kita dilahirkan. Ada sebuah tugas yang harus diemban setiap dari kita semasa berpijak di atas datar alam semesta.

Nama yang orang tua saya berikan “hadiah”, ada harap untuk saya agar dapat menjadi hadiah yang membahagiakan siapapun yang mengelilingi atau bahkan yang menerimanya. Saya pikir, mungkin ini adalah salah satu cara untuk merealisasikan doa tersebut. Dari banyak kemungkinan, mungkin ini salah satu tugas saya, menemukan cara untuk menjadi alasan bahagia siapapun orang yang saya temui.

Saya sadar, tidak banyak yang dapat saya lakukan. Saya banyak kekurangan, banyak tidak mampunya. Setidaknya saya pergunakan apa yang sudah ada dengan sebaik mungkin untuk tercapainya tujuan saya. Ada dua telinga yang saya percaya dapat berguna bagi banyak orang. Saya memutuskan untuk terus belajar menjadi pendengar yang baik bagi siapapun. Karena manusia juga butuh didengar. Setiap dari kita butuh tempat untuk sekedar bercerita. Dunia ini sudah punya banyak orang yang hebat berbicara. Tapi, apalah artinya tanpa ada orang-orang yang juga bersedia untuk mendengar dan memahami. Saya ingin mengisi kekosongan itu, saya perlu menjadi pendengar bagi siapapun.

Tapi, sebuah masalah justru hadir dari sini. Saya pikir sejauh ini saya sudah menjadi pendengar yang baik dan berbahagia karena satu dari mimpi saya sudah berhasil saya coret dari daftar. Di samping itu, saya menjadi sering berbohong, tidak jujur pada diri sendiri dan lama-kelamaan banyak cerita dan keluh kesah yang saya terima mengkaburkan pemahaman saya terhadap diri saya sendiri. Saya tidak bisa mengerti, apa yang saya rasa? Apa mau saya?

Sebuah kesalahan yang saya buat. Misalnya, setelah sehari penuh atau pada sebuah kesempatan, saya menjalankan tugas saya untuk mendengarkan apapun yang orang katakan tidak jarang adalah cerita tentang keresahan atau juga cerita sedih. Saya memposisikan diri menjadi wadah yang menampung tanpa memberi penghakiman. Tiba malam hari, dimana saya diberi waktu kosong yang panjang. Tanpa saya sadari penuh, saya merasa masuk dalam cerita mereka. Ikut membayangkan berdiri di atas sepatu yang sama, otak saya akan berusaha mengaitkan kejadian yang terjadi dengan apa-apa yang ada dalam realita hidup saya. Mendaramatisir setiap kejadian yang mempunyai kemiripan, sehingga tidak jarang saya tenggelam dalam tangisan yang tidak seharusnya.

Mengingat semua orang butuh tempat untuk berbagi, saya hampir tidak punya tujuan lagi. Ada, banyak sekali yang menawarkan bantuan. Tapi entah saya merasa bukan pada tempatnya. Dengan begitu, saya membiarkan emosi ini tertampung dan tidak tersalurkan. Saya melupakan pentingnya diri saya. Sudah cukup lama saya tidak bertukar pikir, memiliki percakapan yang terfokus pada diri saya saja, menggali rasa secara mendalam. Mengingat, yang sempat saya kira 'rumah', sudah tidak lagi dapat saya singgahi dan sandarkan kepala. Meskipun diawali dengan pamit yang terdengar ramah di telinga. Saya disadarkan bahwa menaruh ekspektasi pada manusia bukanlah sesuatu yang bijak pada akhirnya.

Suatu ketika, saya dibuat kembali tidak yakin dengan tujuan awal saya. Betul kah yang saya jalankan ini berdasar ketulusan dan panggilan jiwa, atau ternyata tanpa saya sadar ini adalah suara saya yang tidak pernah terdengar. We treat others the way we want to be treated. Lalu, apakah tujuan untuk membahagiakan orang lain, sebenarnya adalah reverse dari keinginan diri untuk mencari bahagianya?

Diakui atau tidak, manusia tidak pernah suka dengan kondisi negatif dalam hidupnya, selalu memilih untuk menghindari situasi yang menyakitkan. Begitupun dengan saya. Berkali-kali memasuki fase denial. Saya cukup naif, dengan melakukan bantahan-bantahan untuk menjawab pertanyaan saya sendiri. Defence mechanism, berusaha memaparkan fakta versi diri sendiri dengan kata lain memanipulasi dan menipu diri bahwa saya tidak seperti itu, saya baik-baik saja. Pertahanan diri untuk mengurangi kecemasan. Memberikan alasan-alasan rasional, sehingga kesalahan yang dibentuk menjadi suatu "kesalahan yang tidak salah karena beralasan".

Bukan berarti saya akan berhenti melakukan apa yang saya sudah jadikan kebiasaan ini, untuk menjadi pendengar, tapi saya mengerti sebuah esensi bahwa saya juga tidak ada beda dengan orang lain. Saya juga punya kebutuhan yang sama. Sebelum memperbaiki apa yang ada di luar, saya harus pastikan apapun yang ada di dalam saya juga baik-baik saja. Kurang tepat rasanya, ketika kita menempatkan kebahagiaan orang lain di atas diri kita di saat kita adalah orang yang lebih membutuhkannya. Egois untuk diri sendiri sesekali tidaklah terlalu buruk. Justru kita harus menjadi jiwa yang bahagia dan utuh lebih dulu, lalu memancarkan getar positif untuk membuat sekeliling kita juga merasakannya. Merapikan sesuatu yang ada di luar sementara yang di dalam tidak terurus? Meskipun dua hal tersebut bisa saja dijalankan bersamaan. Tapi satu kali lupa, hilang fokus, hal-hal esensial yang ada dalam diri kita bisa saja terselip, hilang, dan sulit ditemukan kembali.

jadi, pertanyaan berikutnya yang harus saya cari jawabannya

bisakah, maukah, kapan luangkan waktu untuk mendengar diri sendiri?



Comments

Popular posts from this blog

MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021