14.01.2021


Semulanya, ini ditujukan sebagai tulisan singkat yang hanya akan saya simpan dalam draft, untuk saya pribadi. Tapi entah alasan apa yang membuat saya berubah pikiran.

Semalam, saya cengeng sekali. Entah bentuknya seperti apa musuh yang menyentil perasaan saya sebegitu kuat. Setelah menonton sebuah video, tidak dengan aba-aba apapun saya dipenuhi banyak tanya. Kuat-kuat saya menahan, mencoba mengalihkan fokus. Justru lebih kuat pikiran saya menghantui. Untuk pertama kalinya saya takut pada diri sendiri, terlebih dengan yang di dalam kepala ini.

Saya menangis untuk sedih yang saya tidak tahu apa hulu dan muaranya. Seperti biasa, saya mencoba diam dengan harap yang meronta-ronta ini berhenti dengan sendirinya. Ternyata tidak semua bisa kita pendam sendiri. 

Entah dengan arahan dari mana saya segera mengetik pesan kepada abang saya, dengan isi 

"do you have time? I wanna talk" saya ingin bebaskan semuanya. ini jarang sekali terjadi, bahkan hampir tidak pernah. Tapi saya merasa saya butuh pertolongan. Kegaduhan dalam kepala saya seperti efek domino, menghantam satu persatu yang ada di sebelahnya tanpa putus. 

"Kalau dibiarkan begini, asumsi saya semakin liar" 

"Dan bila saya tidak tanggap bisa saja saya mati karena pikiran saya sendiri"

"Tapi mati seperti apa yang akan saya hadapi?"

"Kalau ditimbang, kiri saya akan lebih berat. Pada yang lebih kecil dari setapak, saya tidak mungkin seimbang" 

dan terus estafet tidak ada titiknya.

Saat sadar, saya pun seperti mengawang ini apa? Terperangah bahwa otak saya berpikir sejauh itu tadi malam. Saya tidak habis pikir pemantik yang kecil bisa membakar sebegitu hebat. Saya bersyukur, saya menemui orang yang tepat. Meski bukan sepenuhnya solusi yang saya dapat, tapi ketenangan agaknya saya bisa peluk tadi malam. Saya perlu istirahat.

Pagi hari, saat saya berusaha melupakan kegaduhan yang saya ciptakan untuk diri saya sendiri. Saya dihadapkan dengan yang justru lebih nyata, seperti visualisasi dari ketakutan saya pukul sepuluh kemarin malam. 

Ibu saya menangis seraya berucap "Syaikh Ali Jabir meninggal", dentuman kuat. 

Bukan tentang siapa, tapi tentang takut saya yang seperti memiliki ikatan darah dengan realita pagi ini. Walaupun kabar kepulangan bukan hal yang asing di telinga kita selama pandemi. Saya dihantui lagi, dengan yang berkali lipat lebih serius. Semua sosial media berbunyi "Al-fatihah" dan memajang potret beliau semasa hidup. Saya tidak ikut berpartisipasi. Selain ini sama dengan mengundang ketakutan saya untuk kembali, ada hampa yang saya kenal betul. Rasa kehilangan yang sama seperti beberapa tahun silam. Sepulang dari sekolah, 2013 menuju pertengahan, yang tidak pernah saya ceritakan pada satu wajah pun. saya dibuat menangis sejadinya melihat berita tentang kepergian ustad Jefri. 

Bukan tanpa sebab, karena beberapa hari sebelum itu saya dan ibu sedang rajin-rajinnya menonton dakwah dan tawsiyah beliau. Kami sedang merasa dekat dengan beliau. Lalu dijauhkan dengan jarak yang tidak siapapun bisa tempuh. Meski tidak sekalipun menyaksikan secara nyata, tapi setiap isi kalam beliau, ajakan beliau sampai di hati kami. Begitu pun dengan kejadian hari ini, dua hari sebelumnya saya dan ibu menonton siaran dakwah di televisi dan tidak sekali mata ibu salah melihat, dengan pendakwah berbeda yang berjubah putih sama seperti kebiasaan beliau ibu saya berujar "mirip Syaikh Jaber" entah apa maksudnya. Tapi kami berakhir membicarakan tentang beliau pagi itu. 

Saya bukan orang yang religius, bahkan jauh dri taat. Kehilangan ini benar-benar ada kami rasakan. 

Sekali lagi, bukan tentang siapa yang pergi. Dengan keyakinan penuh beliau akan diantarkan dan ditempatkan Allah di sisi terbaik-Nya. Bagi saya ini tentang apa yang diajarkan dari kepergian mereka. Kesadaran yang dibangkitkan. Buta yang disembuhkan.

Tentang teka-teki, akan seperti apakah cara Tuhan memanggil saya pulang? 


Comments

Popular posts from this blog

MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021