INSECURITY VOL. 2 | 25 JUNI 2021
Menahan diri untuk tidak menulis terlalu banyak saat sedang kacau, seperti pesan yang dititipkan eyang Sapardi, sudah ku lakukan.
Entah sudah kali keberapa aku mengulang kalimat pamungkas ini. Tapi menurutku ini penting sebagai pelindung emosiku. Tulisan yang ditulis ketika sedang sedih atau kacau-balau akan menjadi sangat cengeng dan sangat bukan diriku. Karena ego lah yang akan banyak mengambil peran, dibandingkan dengan akal sehat.
Jadi, sedih dan kacaunya
sudah berlalu, beberapa hari lalu, hari ini tertinggal
serpihannya saja. Saat itu, aku mengalah dan memutuskan untuk menarik diri mundur beberapa langkah untuk
melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas dan lebih adil tentunya. Ku akui, hari ini aku menjadi lebih adil terhadap diriku
sendiri, dan kondisi yang aku alami. Jika tidak, mungkin aku akan sepenuhnya
menaruh beban pada situasi, mengasihani diri sendiri berlebihan, atau parahnya
lagi mungkin saja menuduh orang lain atas gelisah dan ketakutanku semata.
Persoalan
insecure ini sangat tidak asing untuk aku dan teman-teman generasiku. Terlalu
banyak tuntutan sekitar yang pada akhirnya membebani diri anak muda hari ini,
yang pada akhirnya akan berimbas pada kesehatan dan kesejahteraan mental. Sebenarnya,
aku sedikit malu pada diri sendiri untuk membahas ini berulang kali karena
pernah berjanji untuk tidak akan bersedih dengan alasan yang sama lagi dan
lagi. Tapi apa daya, topik ini tak terelakkan dan datangnya bisa kapan saja pun pada siapa saja, tak kenal kasta.
Pernahkah
kalian merasa tidak berharga, merasa menjadi yang paling buruk ketika kalian
gagal dalam melakukan sesuatu, atau tidak berhasil menyelesaikan sesuatu sebaik
yang orang lain lakukan? Lalu kalian mulai menyalahkan diri sendiri dan mencap
diri kalian cacat? pasti iya jawabannya, no one can deny it.
Aku menyebut fase insecure kali ini adalah yang terparah dari semua yang pernah terjadi. Karena sakit yang aku hadapi bukan main, menurutku, bahkan berimbas pada fisik, hubungan pertemanan, dan banyak hal lainnya. Sudah mulai terlihat tidak beres ketika aku bisa menangis dimana saja setiap teringat hal-hal yang bisa membawaku kembali pada perasaan tidak nyaman itu, seperti dejavu tapi kali ini berkali lipat lebih sakit, it leads me back to the bad memories I had, especially about my insecurities. I keep comparing myself to the others, I see no good in me, all I know is I’m a failure. Bersyukur dengan alasan pandemi, no one can stop me from wearing mask so no one have a clue about what was happening, mata sembab, hidung yang memerah atau mungkin senyum yang jauh tertinggal, terkubur entah dimana. Entah pada akhirnya ada yang menyadari ataupun tidak.
Berawal
dari beberapa hari yang lalu, saat aku mengikuti kegiatan LDK, pelatihan untuk pengurus
organisasi. Menjadi bagian dari hima jurusan yang saat ini sedang aku emban adalah sebuah keharusan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. terdengar baik-baik saja bukan? iya kegiatannya sangat menyenangkan sebenarnya, hanya saja aku yang tidak bisa menikmati. Mungkin salahku, beberapa saat
sebelum kegiatan diadakan, aku menaruh ekspektasi yang cukup tinggi pada diriku
sendiri. Aku berkeyakinan bisa melewati zona nyamanku sebagai orang yang banyak
diam dan “sing nerimo” apapun. Aku juga percaya bahwa aku dapat memberikan
sesuatu yang lebih, bahkan melewati batas kemampuan diri yang diriku kenal
selama ini, seperti aku berkhayal bebas menjadi sosok yang berani berbicara lantang di depan
khalayak dan mendapat tepuk tangan meriah atas keberanian itu. Justru disinilah letak bumerangnya, saat rencana itu tidak berjalan
dengan baik, tidak sesuai dengan harapanku, tidak sejalan dengan scene yang
sudah kubayangkan, — bahwa diriku
akan mampu melewati— nyaliku mulai menciut. Aku
mulai menyalahkan diri sendiri, bahwa kegagalan ini karena aku yang tidak cukup
mampu mengontrol kegugupanku dan segala hal yang membatalkan semua keberhasilanku
untuk melewati rintangan. Aku seperti mendoktrin diriku bahwa ini adalah tentang
permainan kalah dan menang. Aku menuntut diriku to push myself to the limit,
dan menunjukkan pada semua orang bahwa aku “juga bisa”. Jelasnya, aku disiksa
pikiranku sendiri.
Ketika melihat orang lain berhasil menyuarakan pendapat, dan aku tidak tidak bisa, aku seperti mendidih dan tidak habis memaki diri sendiri atas ketidakmampuanku. Ketika orang-oramg di sekitarku dapat dengan mudah berbaur dengan lingkungan dan menjadi sosok menarik yang “asik", aku merasa diriku seperti serpihan yang tidak bisa apa-apa. Makhluk goa yang tak kenal peradaban. Ketika memasuki sesi orasi, yang mana aku sudah membayangkan diriku berdiri dan mampu menyampaikan apa yang ada di kepalaku nyatanya tertahan oleh ketakutanku. Aku seperti gagu, terbata-bata, dan seperti tidak dipikirkan.
Tidak pernah dalam hidupku aku merasa memiliki ambisi semembara ini. Hingga sampai pada akhir, aku mempertanyakan tentang
apa yang aku cari sesungguhnya? Apa yang sedang berusaha aku buktikan? Akhirnya
jawaban itu ku temukan it is about how hard I was trying to get people’s
approval and acceptance .Tapi, aku menyesal, dan bisa ku pastikan ini akan menjadi yang
pertama dan terakhir kali bagiku mencoba keras menjadi bukan diriku sendiri
untuk sebuah alasan yang konyol. Menjadi realistis memang tidak pernah salah
dan jauh lebih sehat untuk jiwa ragaku.
Sepenggal
tulisan yang sempat ku tulis ketika sedang dideru amarah dan berlinang air
mata. Tapi ku akui ini adalah sebuah tulisan kejujuran yang terjujur yang pernah
ku tulis gamblang, dan aku tidak akan menghapusnya, untuk ku jadikan alat ukur
dan evaluasiku di kemudian hari tentang sejauh mana aku berhasil melangkah dari keterpurukan ini.
cc:
“jangan pernah
berbuat salah, semua orang akan menghakimimu” sebuah pegangan yang ku
terjemahkan dengan keliru. It is always me being a socially awkward person,
selalu merasa menjadi minoritas. Menjadi berbeda untuk sebuah prestasi mungkin
akan sangat menyenangkan, Akan berbeda cerita ketika menjadi berbeda karena
sebuah kekurangan. selama ini aku sudah berdamai dengan diriku, pikirku. sejauh
ini aku sudah berhasil menakhlukkan rasa takutku, dugaku. sebuah kesalahan
besar yang pernah terlintas dalam pikirannku. Ternyata aku, masih sama tidak
berdaya ketika dihadapkan dengan kelompok yang lebih besar. Aku seperti mencari-cari,
seperti dikejar-kejar. Ada amarah, ada takut, bergulat tidak ada habis. Menjadi
pintar saja tidk cukup, berbaur dengan lingkungan juga penting, Nawal.
Tapi setidaknya, setelah hari ini aku menyadari dan belajar
bahwa tidak semua orang harus bisa menjadi pemeran utama dalam setiap cerita. Tidak semua orang
harus menonjol dalam segala hal. Kekurangan kita menunjukkan bahwa kita
manusia, dan tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya.
Aku harus berdamai dengan diriku sendiri, I have to accept
the fact that, yes, I'm a socially awakward person (at least for now) Yes, I’m too awkward. Yes, I’m too nervous at everything. But it’s
a good sign, this is part of the process that I have to do to get through.
This things will be fixed. I was expecting myself to give more and contribute
more but ended up I’m still stuck somewhere that I feel i'm not belong to, just because I'm not ready. I knew it from the start, but I refused to understand my own feeling instead I forced myself with no excuse, I ended up mad at myself, untuk ketidakmampuan dan kecerobohan itu.
Aku bangga pada kesadaran yang diriku miliki, bahwa bersedih tidak salah dan tidak mengapa, tapi tidak untuk berlarut dan hanyut di dalamnya untuk waktu yang lama,
mengakui kekurangan adalah sebuah hal yang juga baik, dan berusaha untuk memperbaikinya adalah hal yang sangat bijaksana. :) cheers!

Comments
Post a Comment