OTORITER SUDAH BUKAN ZAMANNYA

Tulisan ini, tak akan berumur lama. 
Aku membuatnya untuk menjadi pengingatku nanti tapi biarlah satu dua orang membaca untuk juga ikut menyadarkan dan membuka mata.

Untuk yang tidak terima, kalian berhak. Aku tidak mengganggu opini siapapun.

Aku sedang bersedih hati, dengan menulis ku harap dapat mengobati. Karena bercerita pada orang tidak akan mengurangi derita.

"Berceritalah pada Tuhan, jika kamu orang yang beriman" komentar-komentar seperti ini bukanlah solusi yang tepat.

Belajarlah untuk menjaga lisan di depan orang yang sedang lara atau yang tidak sekalipun. Kamu tak tahu niat baik dibalik ucapanmu akan seberapa besar membuat mereka semakin terpuruk ketika bukan kalimat itu yang mereka harapkan untuk dengar dari mulutmu, melainkan kamu yang menguatkan dan sekedar siap mendengarkan.

Jika tidak mampu menenangkan setidaknya tidak membuat pikirannya semakin kacau.

Aku tahu batasan hal-hal personal yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik.  Awalnya kurasa membocorkan angan-angan dan cita-cita pribadi termasuk bagian dari pelanggaran akan prinsip sendiri. Tapi setelah melewati banyak hal yang tak menyenangkan, kurasa aku perlu terlibat untuk menumpas sesuatu yang tidak seharusnya punya tempat di dunia modern ini.

Dewasa ini, aku banyak melihat, banyak belajar dan menyerap. Serta mulai berfantasi tentang keluarga seperti apa yang aku inginkan nanti. Pengalaman yang diberikan orangtua menjadi pelajaran berharga. Nilai kehidupan yang tidak sesuai, akan ku coba perbaiki. Yang baik akan ku pertahankan. Aku berjanji pada diriku sendiri, jika Tuhan mengizinkan aku untuk menjadi ibu kelak, aku akan sangat mempertimbangkan sikapku di depan anak-anakku. Dan sebisa mungkin tidak menjadi tipikal orang tua "otoriter" yang menuntut, memegang kendali atas semuanya, menguasai, memerintah sesukanya, dan tidak membuat komunikasi terjalin dua arah. Yakni anak juga perlu berbicara.

Sebisa mungkin aku menjadi teman, yang banyak mendengar. Mengajarkan pada mereka bahwa tidak perlu cemas untuk bercerita tentang apapun pada orangtua. Menyakinkan bahwa tidak perlu ragu untuk menunjukkan isi hati kepada mama papa. Menjadi pendukung nomor satu bagi mereka. Membangkitkan percaya diri mereka, agar tidak mengalami krisis percaya diri seperti yang ku alami. Mengajaknya berlibur, menikmati alam. Dan turut menikmati apa yang mereka gemari.

Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menumpahkan kesedihan terdalamku di hadapan mereka, seakan mengisyaratkan aku yang menanggung beban semesta ini. Sikap orangtua seperti pentas pertunjukan, anak menyaksikan & belajar dari pertunjukkan tersebut. Film dan semacamnya saja selalu dibatasi usia minimal. Dibedakan untuk yang dewasa dan untuk anak-anak. Jangan sampai anak-anak berasumsi banyak dan menjadi penuh tekanan mencoba untuk memahami, itu tidak sehat untuk perkembangannya.

Kembali lagi pada topik pertama, ibuku sering menangis, marah, membentak saat beliau emosi. Namun tidak pernah menjelaskan itu semua untuk apa. Menurutku itu sangat tidak dewasa untuk orang dewasa, melukai hati dan menjadi beban bagi anak. Dilihatnya ibunya murung terlebih menangis untuk yang perlu, tak apa. Tapi untuk melebih-lebihkan adalah fatal. Ku putuskan disamping kesehatan jasmani, kestabilan mental anak akan menjadi prioritasku nanti,  jadi bukan tentang aku dan egoku semata. 

Aku akan beritahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa yang aku tidak ingin mereka lakukan. Biarkan semua gamblang agar mengerti, bukan membaca raut wajahku dan menyelesaikan teka-teki. Akan ku buang jauh pikiran kolot orangtua otoriter. Melainkan mengayomi, mengasihi, menjadi teman dan bersikap keras sesuai porsinya. Aku tidak akan menangis meraung, mengamuk lalu mengancam akan pergi ketika anak-anakku tak berhasil menyelesaikan teka-teki seperti yang ibuku persembahkan. 

Memahaminya, seperti taman labirin dan aku adalah kurcaci. 

Aku tak mengatakan ibuku buruk, ibuku malaikat. Aku durhaka dan penghianat besar untuk tidak mengakui itu. Hanya saja pikiran kolotnya terhadap hal tertentu yang tak bisa ku kendalikan dan sangat tidak sejalan denganku. Aku tak bisa merubahnya, Niscaya aku yang akan disalahkan, dan memang salah. Dibiayai sekolah tinggi untuk mengajari orang tua, akupun tidak setuju. Sembilan bulan berlindung dalam rahimnya namun merasa paling iya? Tidak, tidak bukan begitu.

Aku tak pernah putus asa untuk memercikkan sedikit demi sedikit cahaya untuk pandangannya yang cenderung lama. Bahwa sebegitu berartinya aplikasi terhadap hadis yang berucap hidupilah, rawatlah dan besarkanlah anakmu sesuai dengan zamannya. 

Terlepas dari ketidaksinkron-an pola pikir aku dan ibuku dalam hal ini,

Sejak belia sekali aku selalu ingin menjadi yang memprakarsai perdamaian dalam keluarga yang tertinggal  dalam beberapa aspek di masa modern ini. Menjadi adik, kakak, ibu, dan nenek yang akan membuat generasi setelahku bangga. Serta membuka semakin luas jendela menuju keberhasilan keluarga yang aku dambakan.

Untuk penegasan, Demi Tuhan aku tak membenci jiwa suci, dan ketulusan hati ibuku. Sekali, dua, tiga, seribu kali aku bersuara yang dianggap menentang.

Semoga Tuhan melihat apa yang tak nampak,

Semoga Tuhan memahami rinci maksud hatiku dan mengampuni.

Semoga Allah berikan usia yang panjang untuk ibu bapakku. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

MEMORI RAYA | 24 MEI 2020

RAYA KEDUA || 5 JUNI 2019

VACCINATED! | 02 JULI 2021